ARIO BLEDEG Pendekar Keris Tujuh Petir Karya: Bastian Tito Petir Di Mahameru (Bagian 4) ENAM BELAS API DENDAM MULAI BERKOBAR BERSAMAAN dengan menyingsingnya fajar, gerobak yang ditarik dua ekor kuda besar itu memasuki pintu gerbang keraton. Waktu itu Kerajaan berada dalam keadaan kemelut, pengawalan dilakukan sangat ketat. Prajurit bertebaran di seluruh pelosok Kotaraja. Keraton dijaga ratusan pasukan siang malam. Semula para pengawal di pintu gerbang hendak menghentikan gerobak. Namun ketika melihat siapa yang duduk di bagian depan gerobak, dengan cepat mereka membuka pintu gerbang lebar-lebar, memberi jalan. Bertindak sebagai sais kereta adalah prajurit kepala Gedeng Kemitir. Di sebelahnya duduk gagah orang tua berjubah kuning berambut riap-riapan. Didadanya tergantung melintang sebuah tombak yang pada ujungnya terikat sehelai bendera kuning berbentuk segi tiga. Dia bukan lain adalah Ki Dalem Sleman,tokoh silat Istana. Di lantai gerobak tergeletak jenazah Pangeran Tua Sekar Seda Lepen. Di lehernya kelihatan luka besar menguak, agak tertutup oleh darah yang membeku. Itulah bekas luka tusukan golok Perwira Muda Tubagus Lor Putih. Perwira Kerajaan Brajanala yang sedang sakit ketika diberitahu kedatangan Ki Dalem Sleman membawa jenazah Pangeran Tua Sekar Lepen serta merta turun dari pembaringan. Setelah mencuci muka dan berpakaian dengan langkah menghuyung dia segera menuju halaman depan Keraton. Begitu menyaksikan sendiri mayat Pangeran Tua dan bicara sebentar dengan Ki Dalem Sleman, Brajanala membawa tokoh silat Istana itu ke ruang dalam, bersama-sama menghadap Sultan Prawoto. Seluruh penghuni keraton terjaga. Ini adalah satu peristiwa besar. Pangeran Tua Sekar Seda Lepen yang oleh pihak Keraton dianggap sebagai pemberontak berhasil ditewaskan dan jenazahnya dibawa sendiri oleh tokoh silat Istana, Ki Dalem Sleman. Setelah cukup lama menunggu akhirnya Sultan Prawoto muncul menemui Brajanala dan Ki Dalem Sleman. Setelah menerima penjelasan dari Perwira Brajanala Sultan Prawoto berucap. "Ki Dalem Sleman, ini satu peristiwa besar bagi Kesultanan Demak. Kau tahu sendiri, mata-mata kita sudah sejak lama mengikuti gerak-gerik Pangeran Tua. Itu sebabnya, karena sakitnya Perwira Brajanala, aku mengirim Perwira Muda Tubagus Lor Putih untuk mencegatnya di sungai. Ternyata dia tidak mampu berbuat banyak. Kalau kau tidak turun tangan kemungkinan besar Pangeran Tua itu berhasil melarikan diri waktu dicegat di sungai. Memalukan sekali, Tubagus Lor Putih hanya bisa membunuh Pangeran Tua ketika Pangeran Tua berada dalam keadaan pingsan tak berdaya. Anak-anakpun bisa melakukannya!" "Sultan, dengan izin Sultan saya akan memecat Perwira Muda itu. Kalau perlu memenjarakannya!" kata Perwira Tinggi Brajanala yang jadi marah besar setelah mendengar keterangan Ki Dalem Sleman atas apa yang terjadi. "Lakukanlah tugasmu, Perwira," jawab Sultan lalu berdiam diri sesaat. "Aku merasa lega, musuh paling besar dan paling berbahaya bagi Kerajaan telah disingkirkan. Namun sebagai manusia biasa aku merasa haru, sedih, duka cita yang mendalam. Bagaimanapun juga Pangeran Tua Sekar Seda Lepen adalah masih kakekku juga. Jenazahnya perlu diurus dengan baik. Ki Dalem Sleman, mengingat Perwira Brajanala masih dalam keadaan sakit, aku menugaskan mu untuk membawa jenazah Pangeran Tua, menyerahkannya pada puteranya, Arya Penangsang." "Saya siap melakukan perintah," jawab Ki Dalem Sleman seraya membungkuk dan menambahkan. "Saya sudah mengabdi sejak masa ayahanda Sultan,Sultan Trenggono. Pengabdian saya tidak akan terputus, kecuali Tuhan memanggil saya terlebih dahulu." Sultan mengangguk. "Ki Dalem tahu dimana Arya Penangsang berada?" "Terakhir sekali dia berada di desa Pilangsari di selatan Demak. Namun seorang mata-mata memberi tahu dua hari lalu, putera Pangeran Tua itu terlihat di Welahan, satu desa di kawasan barat Kudus. Saya akan mengirim seseorang mendahului saya ke sana. Jadi jika jenazah sampai, Arya Penangsang sudah bersiap-siap menerimanya." "Bagus sekali langkah yang Ki Dalem ambil," kata Sultan pula. "Namun harap berhati-hati. Arya Penangsang kalap mendadak melihat mayat ayahanda! Tidak mustahil dia akan melakukan tangan jahat terhadap Ki Dalem." "Saya bisa mengerti kalau dia sampai berbuat begitu. Saya akan berhati-hati." "Aku percaya Ki Dalem bisa mengatasi urusan. Dan atas jasa besarmu ini aku akan memberi tahu Bendaharawan Istana untuk melipat gandakan santunan bulanan atas nama Ki Dalem...." "Sultan, sebenarnya saya tidak mengharapkan imbal jasa apa-apa," kata Ki Dalem Sleman sambil membungkuk. "Semua yang saya lakukan adalah menjadi tugas dan tanggung jawab semata." Sultan berpaling pada Brajanala. "Perwira, ketatkan pengawalan atas Keraton. Lipat gandakan kekuatan prajurit di seluruh Kerajaan dan sebar mata-mata sebanyak mungkin. Aku punya firasat, tewasnya Pangeran Tua akan mendatangkan hal-hal yang tidak kita inginkan. Terutama dari pihak yang tidak menyukai tahta Kerajaan berada di tanganku." Perwira Brajanala mengangguk. Setelah membungkuk memberi hormat dia segera meninggalkan tempat itu. Tapi Sultan berkata. "Satu hal lagi Perwira. Harap dikirim seorang utusan untuk menemui Joko Tingkir. Sejak ayahanda mangkat dia seperti menghilang begitu saja. Sebagai menantu ayahanda, dia tidak layak berbuat begitu. Aku tahu dia tengah merampungkan beberapa ilmu kesaktian di satu tempat terpencil. Cari dia, minta dia segera datang ke Kotaraja menemuiku. Kita perlu bantuan tenaga dan pikirannya." "Akan saya lakukan Sultan," kata Perwira Brajanala. Sesaat setelah Perwira Tinggi Kerajaan itu berlalu, Ki Dalem Sleman minta diri pula dengan alasan segera hendak mengurus jenazah Pangeran Tua Sekar Seda Lepen. Namun yang pertama sekali dilakukannya adalah menyusul Brajanala. Di satu lorong Keraton dia berhasil mengejar Perwira itu. Keduanya saling bercakap berbisik-bisik. "Tugas dari Sultan harus kita lakukan. Tapi dengar baik-baik Brajanala. Apapun yang terjadi jangan kau pergi mencari Joko Tingkir. Kehadiran ipar Sultan itu di dalam Keraton sama saja dengan mendatangkan seekor harimau berbahaya bagi kita dan teman-teman. Bisa mendatangkan bencana!" "Ki Dalem Sleman, aku sudah tahu hal itu. Kau tak usah khawatir," jawab Brajanala. "Sekembalinya kau menemui Arya Penangsang, kita segera mengadakan pertemuan dengan teman-teman. Satu hal kau ingat baik-baik Ki Dalem. Kepandaianmu bicara akan sangat menentukan. Kita semua berharap bisa menarik putera mendiang Pangeran Tua itu agar masuk ke dalam barisan kita!" Ki Dalem Sleman tersenyum lalu berkata. "Banyak orang akan meratap di atas genangan darah. Tapi kita dan teman-teman mungkin masih bisa menari di atas genangan darah itu." "Kerajaan dilanda kekacauan. Ini kesempatan kita mengeruk keuntungan. Mengeruk uang, harta dan jabatan!" jawab Perwira Tinggi Brajanala pula sambil mengulum senyum. *** TUBUH Arya Penangsang bergetar hebat. Dua tangannya terkepal laksana batu. Dua mata terpejam. Rahang mengatup, mulut terkancing. Dari ubun-ubun di atas kepalanya mengepul asap tipis. Dada bergelombang dan tenggorokannya turun naik. Di kiri kanannya orang-orang bertangisan. Ibunya, beberapa saudara sekandung, keluarga terdekat dan teman-teman. Rumah besar di desa Welahan itu penuh dengan orang-orang yang datang untuk menyampaikan rasa duka cita atas tewasnya Pangeran Tua Sekar Seda Lepen. Dua tangan Arya Penangsang bergerak, memegang pinggiran peti jenazah yang penutupnya sengaja dibuka. Di seberang peti, di depan Arya Penangsang tegak tertunduk Ki Dalem Sleman. Di sebelahnya berdiri Gedeng Kemitir. Prajurit Kepala yang pernah diselamatkannya ikut menemani Ki Dalem Sleman mengantarkan jenazah Pangeran Tua Sekar Seda Lepen. Selain itu masih ada beberapa orang prajurit. Namun di dalam rumah besar itu, dari Demak hanya Ki Dalem Sleman dan Gedeng Kemitir yang hadir. Prajurit kepala ini yang telah diselamatkan nyawanya oleh Ki Dalem Sleman. Dua tangan Arya Penangsang bergetar. Peti jenazah yang dipegangnya ikut bergetar. "Orang-orang Demak! Kalian harus membayar mahal atas kematian ayahanda ku! Aku akan menjadikan. Demak sungai darah! Sungai darah yang berhulu di Keraton Prawoto!" Ratap tangis di sekitar peti jenazah semakin keras begitu semua orang mendengar ucapan Arya Penangsang itu. Arya Penangsang sendiri yang tidak sanggup menahan amarah, seperti kalap berteriak keras. Pinggiran peti jenazah hancur berkeping-keping. "Orang-orang Demak keparat! Mana orang Demak! Mana!" Orang-orang perempuan berpekikan, orang-orang lelaki keluarkan seruan tertahan ketika tiba-tiba Arya Penangsang menyambar golok besar seorang teman yang berdiri di dekatnya. "Kau orang Demak! Kau harus mampus! Kau juga!" Tiba-tiba sekali Arya Penangsang melompat ke hadapan Gedeng Kemitir. Golok di tangannya berkelebat ganas ke arah leher prajurit Demak itu. Sesaat lagi leher Gedeng Kemitir akan tertabas putus, tiba-tiba satu bayangan kuning melesat. Pergelangan tangan kanan Arya Penangsang tahu-tahu sudah berada dalam satu cekalan kuat. "Jahanam!" Tua bangka keparat! Kau minta mampus!" Laksana kilat tangan kiri Arya Penangsang menghantam. Bukan cuma satu kali, tapi dua kali berturut-turut. "Bukkk!" "Bukkk!" Ki Dalem Sleman adalah tokoh silat Istana paling disegani. Tingkat ilmu silat dan kesaktiannya dikagumi teman ditakuti lawan. Tidak mudah untuk bisa menjatuhkan tangan terhadapnya. Tapi saat itu dia sama sekali tidak menduga kalau Arya Penangsang akan menghantamnya demikian rupa. Ki Dalem Sleman terlempar sampai beberapa langkah. Mukanya agak pucat. Dari sela bibirnya kelihatan lelehan darah. Jelas dia menderita luka dalam cukup parah akibat hantaman tangan kiri Arya Penangsang. Walau demikian, sambil menahan rasa sakit dia masih sempat melontarkan senyum dan bolang balingkan golok besar berhasil dirampasnya dari tangan Arya Penangsang. Golok dimelintangkannya di depan dada lalu berucap. "Raden Arya, harap tenang. Kendalikan amarah! Kekerasan tidak akan menyelesaikan perkara. Kami datang dengan ikhlas untuk mengantar jenazah karena kami sangat menghormati mendiang Pangeran Tua Sekar Seda Lepen....." Ucapan Ki Dalem Sleman terputus oleh bentakan Arya Penangsang. "Siapa percaya mulut busuk orang Demak!" Untuk kedua kalinya Arya Penangsang melompat kirim kan serangan. Kali ini dengan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam dan hawa sakti tinggi. "Maafkan saya Raden Arya," kata Ki Dalem Sleman. Tokoh Istana Demak ini tidak rela menerima hantaman orang untuk kedua kalinya. Dengan tenang dia kebutkan lengan jubah sebelah kanan. "Wutttt!" Satu gelombang angin deras menderu ke arah Arya Penangsang. Membuatnya terdorong walau dia sudah kerahkan tenaga untuk bertahan. Dalam marahnya dia coba memukul dengan dua tangan sekaligus. Tapi terlambat. Saat itu dua jari tangan kanan Ki Dalem Sleman sudah bersarang di dadanya sebelah kiri. Sesaat jalan darahnya terhenti. Ketika darah kembali mengalir, tubuh Arya Penangsang yang tinggi kokoh itu telah berubah menjadi patung kaku! Suasana di dalam rumah besar itu menjadi hening. Keheningan yang disertai cengkaman ketegangan. Tiba-tiba ada satu suara menggema. "Raden Arya, tenangkan pikiran, dinginkan hatimu! Jika kau mampu melaksanakan aku akan meminta pada sahabatku Ki Dalem Sleman untuk membebaskan mu dari totokan..." Semua orang, termasuk Ki Dalem Sleman sendiri sama palingkan kepala ke arah datangnya suara. Yang bicara ternyata adalah seorang bungkuk berpakaian slempang kain putih. Melihat siapa yang berdiri di depannya, Ki Dalem Sleman segera rangkapkan dua tangan di depan dada lalu membungkuk hormat. "Sahabatku Mantre Jembrana. Tidak kusangka kita bisa bertemu di tempat ini dalam keadaan seperti ini. Harap maafkan. Aku tidak tahu menahu kalau kau...." "Arya Penangsang adalah menantuku," menerangkan orang tua bernama Mantre Jembrana. "Ah, aku merasa sangat bersalah. harap maafkan diriku." "Kau tidak bersalah. Hanya menantuku yang tidak dapat mengendalikan diri." "Ah," Ki Dalem Sleman menghela nafas dalam. "Agaknya aku terlalu terburu-buru menurunkan tangan kasar. Maafkan diriku. Biar aku lepaskan dulu totokan di tubuh menantumu." Ki Dalem Sleman cepat menghampiri Arya Penangsang lalu tusukkan dua jari tangan kanannya tepat ke arah mana tadi dia menotok lumpuhkan Arya Penangsang. Begitu totokan punah, Arya Penangsang merasakan tubuhnya lemas. Kalau Ki Dalem Sleman tidak lekas memegangnya pasti sosok tubuh besar lelaki itu akan jatuh terhenyak ke lantai. "Raden Arya, pekerjaan sahabatku Ki Dalem Sleman mengantar jenazah ayahmu bukan main-main. Dia tahu kalau pekerjaan itu sama dengan mengantar nyawanya sendiri. Apakah keberanian, kebaikan dan keikhlasannya itu hendak kau balas dengan menyerangnya membabi buta? Ingin membunuhnya?" "Maafkan saya Bapak..." kata Arya Penangsang pula. "Jangan minta maaf padaku. Minta maaf pada Ki Dalem Sleman." "Ki Dalem, maafkan saya." Ki Dalem Sleman tersenyum dan pegang bahu Arya Penangsang. "Ki Dalem Sleman," berkata Mantre Jembrana. "Kami semua di sini ingin mendengar bagaimana kejadiannya sampai Pangeran Tua Sekar Seda Lepen menemui nasib mengenaskan begini rupa. Sehingga kalau kami menanam dendam, kami tahu dan tidak kesalahan tangan kepada siapa dendam itu akan kami tumpaskan." Dalam kisah yang disampaikan Ki Dalem Sleman kepada semua orang yang ada di tempat itu, Ki Dalem Sleman menceritakan mulai dari tertangkapnya Pangeran Tua Sekar Seda Lepen sampai akhirnya di bunuh oleh Perwira Muda bernama Tubagus Lor Putih. Ki Dalem Sleman tentu saja sama sekali tidak menceritakan kalau sebenarnya dirinya turut ambil bagian dalam penangkapan Pangeran Sekar. Setelah mendengar penuturan Ki Dalem Sleman, Mantre Jembrana merenung sejenak, dia melirik pada menantunya Arya Penangsang akhirnya sambil memandang pada Ki Dalem Sleman orang tua ini berkata. "Ki Dalem, kami menghargai sekali apa yang telah kau lakukan. Rasanya banyak hal yang masih ingin kami tanyakan. Mungkin kami juga memerlukan beberapa petunjuk dari dirimu yang begitu banyak pengalaman. Kami mengundangmu untuk bermalam satu dua hari di tempat ini. Sudikah kau menerimanya?" Ki Dalem Sleman tersenyum. "Sebenarnya masih banyak urusanku di Demak. Tapi aku mana berani menampik undangan sahabatku Mantre Jembrana. Cuma, aku tak bisa terlalu lama di sini. Bagaimana kalau aku menginap cukup satu malam saja?" "Itupun sudah satu kehormatan bagi kami," jawab Mantre Jembrana. Orang tua ini memberi isyarat pada seorang pengawal. Pengawal ini segera mendatangi. Dengan suara setengah berbisik Mantre Jembrana berkata. "Siapkan satu kamar bagus untuk tamu kita. Beri tahu pelayan kepala agar meminta Nyi Werda bersedia menjadi teman tidur Ki Dalem Sleman malam ini." *** TUJUH BELAS PENGADILAN DUNIA SIANG itu Sultan dan beberapa petinggi Kerajaan termasuk Ki Dalem Sleman dan Perwira Brajanala tengah mengadakan pembicaraan penting. Sejak beberapa waktu belakangan ini dilaporkan tentang adanya gerakan-gerakan beberapa kelompok besar pasukan di kawasan utara yang tidak dikenal asal kesatuannya. Perwira Tinggi Brajanala tengah berbicara ketika seorang pengawal muncul, memberi tahu tentang kedatangan seorang tak dikenal, membawa sebuah peti. "Orang itu masih muda, mengaku bernama Tunggul Kebuti, pekerjaan petani di desa Mijen..." "Mijen terletak dekat di selatan Welahan, tempat kediaman Arya Penangsang. Mungkin...." Kata-kata Brajanala diputus oleh ucapan Sultan yang bertanya pada pengawal. "Kau sudah memeriksa atau bertanya apa isi peti itu dan siapa pengirimnya?" "Kami tidak berani melakukan pemeriksaan sebelum dapat perintah. Kami hanya bertanya. Ketika ditanya, pemuda petani itu berkata dia tidak tahu apa isi peti itu. Seorang tak di kenal menyediakan sebuah gerobak untuk membawa peti itu ke sini. Lalu memberinya upah besar...." Sultan memandang pada Brajanala. Perwira ini segera bangkit dari tempat duduknya. "Biar saya menemui orang itu," kata Brajanala. "Tunggu, apakah Perwira Muda Lor Bagus Putih yang menghabisi Pangeran Tua itu masih belum diketahui dimana beradanya?" "Saya sudah menyuruh beberapa orang untuk menyidik. Tapi masih belum di dapat keterangan. Bahkan istrinya sendiri tidak tahu..." menerangkan Perwira Brajanala. "Aneh. Dia menghilang begitu saja," kata Ki Dalem Sleman. "Memang aneh. Aneh sekali," ujar Sultan. Dia lalu menganggukkan kepala pada Brajanala. Perwira ini segera tinggalkan ruangan diikuti oleh pengawal pelapor. Tak lama kemudian Brajanala muncul kembali bersama pengawal tadi yang membawa sebuah peti seukuran satu pemelukan. Di sebelah belakang berjalan seorang pemuda yang kelihatan lugu dan melangkah sambil memandang kian kemari. Seumur hidup baru kali ini dia berada dalam Keraton atau Istana. Tak heran kalau dia memandangi segala sesuatunya terkagum-kagum. Pengawal meletakkan peti bagus berwarna coklat dihias ukiran di empat sudutnya dihadapan Sultan. Setelah memperhatikan peti itu beberapa saat Perwira Brajanala bertanya pada pemuda lugu di dekatnya. "Kau datang dari Mijen?" Pemuda yang ditanya mengangguk. "Namamu Tunggul Kebuti?" Yang ditanya kembali anggukkan kepala. "Apa isi peti itu?" Ki Dalem yang kini ajukan pertanyaan. Tidak seperti yang lain-lainnya, orang tua satu ini mulai mencium ada bau yang tidak enak memasuki rongga pernafasannya. Seperti bau anyir. "Saya tidak tahu. Saya tidak tahu isi peti itu..." "Siapa yang menyuruhmu mengantarkan peti ke sini?" tanya Brajanala. "Saya tidak kenal. yang jelas dia bukan orang Mijen. Dia memberikan sebuah gerobak, lengkap dengan kuda. Memberi saya upah banyak. Lalu berkata antarkan peti ini ke Keraton Demak. Serahkan pada Sultan. Itu saja. Saya anggap itu pekerjaan mudah,apa lagi upahnya besar." Semua orang pandangi pemuda petani dari Mijen itu. Lalu terdengar Sultan berkata. "Pengawal, buka peti itu." Pengawal yang tadi membawa peti segera bertindak. Tapi dia jadi bingung sendiri. Peti itu ternyata terkunci. Ada lobang kunci tapi tak ada anak kunci pembukanya. Melihat pengawal kebingungan, pemuda bernama Tunggul Kebuti jadi ingat sesuatu. Dia mengeruk kantong bajunya, mengeluarkan sebuah anak kunci. "Saya lupa," katanya. "Orang yang menyuruh saya mengantarkan peti memberikan anak kunci ini. Disertai pesan agar saya sekali-kali jangan membuka peti." Brajanala segera mengambil anak kunci itu. Dia sendiri yang memasukkan ke dalam lobang kunci memutarnya dua kali lalu membuka penutup peti. Begitu peti terbuka bau tidak sedap menyambar hidung. Lalu sekian pasang mata membelalak disertai seruan terkejut yang tidak dapat ditahan. Di dalam peti yang terbuka itu, mengerikan sekali, ada satu kepala dengan dua mata membelalak seperti ketakutan. Walau kutungan kepala itu penuh lumuran darah namun semua orang mengenali itu adalah kepala Tubagus Lor Putih, Perwira Muda yang tempo hari menusuk mati Pangeran Tua Sekar SedaLepen. Beberapa orang yang ada di ruangan itu keluarkan suara seperti mau muntah. Sultan palingkan kepala dengan wajah jijik lalu melambaikan tangan. Brajanala cepat menutup peti kembali, memerintahkan pengawal membawa peti itu keluar lalu menjambak rambut Tunggul Kebuti. Petani lugu yang tak tahu apa-apa ini tentu saja jadi ketakutan setengah mati. "Aku tidak percaya kau tidak tahu siapa orang yang menyuruhmu mengantarkan peti ini!" Perwira Brajanala menyambar sebilah pedang lalu ditempelkannya ke leher si pemuda yang menjadi pucat pasi seperti mayat. "Bicara! Atau kutabas batang lehermu!" Pemuda dari Mijen itu menggigil ketakutan.Masih untung tidak sampai terkencing. Dalam keadaan seperti itu mulutnya terbuka, tapi tidak keluar suara jawaban. Lalu tangan kanannya tergesa-gesa mengeruk ke balik pinggang pakaiannya. Dari balik pakaian dia mengeluarkan satu gulungan kertas. Dengan suara gagap dan gemetar dia memberitahu. "Or...orang yang menyuruh antar peti, dia memberikan ini. Katanya harus diserahkan pada Sultan...." Brajanala menyambar gulungan kertas itu yang sudah dapat dipastikan adalah sepucuk surat, lalu memandang ke arah Sultan. "Buka, baca isinya keras-keras!" perintah Sultan. Perwira Brajanala segera membuka gulungan kertas. Seperti yang diperintahkan Sultan dia membaca tulisan yang tertera di atas kertas keras-keras. Prawoto, Tak ada rasa hormatku untuk menyebutmu sebagai Sultan. Apa yang telah kau lakukan terhadap ayahku akan segera kau terima balasannya. Kau akan menghadapi Pengadilan Dunia. Sebagai bukti aku tidak main-main, aku sampaikan satu hadiah yang membuatmu tidak bisa tidur nyenyak. Arya Penangsang Wajah Sultan tampak merah gelap. Dia berdiri dari kursi, mengambil surat yang dipegang Perwira Brajanala, bukan untuk membacanya tapi merobek-robeknya. "Ki Dalem Sleman," kata Sultan dengan suara lantang. Ketika kau membawa jenazah Pangeran Tua ke Welahan, kau bahkan sempat menginap satu malam di sana. Menurutmu kau berhasil meredam amarah dan membujuk Arya Penangsang serta Mantre Jembrana. Tapi kau saksikan sendiri apa yang terjadi! Jahanam anak pemberontak itu membunuh Tubagus Lor Putih! Mengirimkan kepalanya ke padaku! Keji biadab!" "Sultan, mohon maafmu. Saya tidak dapat menduga apa yang terjadi Pada saat saya berada di sana Arya Penangsang sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan melakukan sesuatu. Bahkan dia sendiri mengantarkan kepergian saya sampai ke perbatasan. Saya khawatir, mungkin setelah saya pergi ada yang menghasutnya..." Brajanala memanggil pengawal, menyuruh bawa Tunggul Kebuti dan menjebloskan petani malang itu ke dalam tahanan. Lalu pada Sultan dia berkata. "Jika Sultan berkenan, saya bisa menyiapkan pasukan. Dua hari di muka kita serbu Welahan untuk menangkap Arya Penangsang hidup atau mati!" "Mengapa musti menunggu sampai dua hari? Aku ingin paling lambat besok pagi kau dan pasukanmu sudah bergerak! Namun ingat satu hal. Hindari jatuh korban dari kalangan rakyat tidak berdosa. Yang kita cari adalah Arya Penangsang, Mantre Jembrana dan kaki tangannya." "Kalau itu perintah Sultan saya akan segera lakukan," kata Perwira Brajanala. "Ki Dalem Sleman, kuharap kau mengumpulkan sahabatmu para tokoh persilatan untuk bergabung dengan pasukan Demak. Aku yakin Arya Penangsang tidak sendirian. Aku menyirap kabar bahwa dia telah mengatur satu barisan khusus terdiri dari para tokoh rimba persilatan." "Saya siap menjalankan perintah Sultan," kata Ki Dalem Sleman sambil membungkuk. "Saya dan Perwira Brajanala akan segera mengatur segala sesuatu yang diperlukan. Kami berdua mohon diri." "Ki Dalem dan yang Iain-Iain boleh pergi, Perwira Brajanala biar tetap di sini dulu. Aku perlu membicarakan perihal pengamanan Kotaraja dan Keraton Demak." Semua orang yang berada di tempat itu kecuali Perwira Brajanala meninggalkan ruangan. Setelah tinggal berdua saja Sultan Prawoto berkata. "Perwira Brajanala, sebenarnya aku bukan saja memintamu untuk memperhatikan pengamanan Kotaraja dan memperketat pengawalan Istana, tapi ada satu hal lain yang perlu akan dibicarakan denganmu. Ada satu hal yang aku tidak mengerti. Lebih tepat kalau kukatakan mencurigakan..." "Jika saya boleh mengetahui yang Sultan maksudkan," ujar Brajanala. "Turut cerita Ki Dalem Sleman waktu dia mengantar jenazah Pangeran Tua ke Welahan, dan juga turut apa yang aku ketahui, Arya Penangsang tidak mengetahui siapa yang menghabisi ayahnya. Mengapa tahu-tahu kepala Tubagus Lor Putih dikirimkannya ke sini? Aku menaruh curiga, jangan-jangan Ki Dalem Sleman telah menceritakan kejadian yang sesungguhnya pada Arya Penangsang. Yaitu bahwa Perwira Muda itulah yang menusuk mati Pangeran Tua Sekar Seda Lepen." "Saya tidak dapat menduga apa-apa, kecuali jika Sultan memerintahkan untuk menyelidiki," kata Brajanala pula. "Itu memang yang aku inginkan. Aku perintahkan agar kau melakukan penyelidikan. Selain itu memperhatikan setiap gerak-gerik orang tua itu. Siapa saja yang dihubunginya. Beri tahu padaku segera jika kau menemukan sesuatu. Satu hal lagi, harap perhatikan juga tindak tanduk prajurit bernama Gedeng Kemitir. Dia sangat dekat dengan Ki Dalem Sleman. Siapa tahu ada hubungan yang tidak terduga antara dua orang itu." "Akan saya lakukan Sultan," jawab Brajanala lalu membungkuk, kemudian bergegas Perwira Tinggi Demak ini meninggalkan tempat itu. Setelah berada sendiri di ruangan itu Sultan Prawoto merenung. Dia ingat beberapa kali pembicaraannya dengan mendiang ayahnya yaitu Sultan Trenggono. Waktu itu Sultan Trenggono membicarakan tentang telah terjadinya perpecahan dan bentrokan terselubung antara beberapa tokoh dalam Keraton Demak. Yang pertama dipimpin oleh Ki Dalem Sleman. Yang kedua Ki Suro Gusti Bendoro yang konon hanya sendirian menghadapi kelompok Ki Dalem Sleman. Ki Suro kabarnya memilih mengalah dan mengundurkan diri dari segala urusan Keraton Demak. Kemudian terbetik kabar bahwa orang tua itu telah dituduh mencuri salah satu pusaka Keraton yakni bendera keramat bernama Kanjeng Kiai Pujoanom. Sultan Trenggono memerintahkan Ki Dalem Sleman dan Perwira Tinggi Brajanala untuk mencari Ki Suro Gusti Bendoro. Namun setelah sekian lama berlalu Ki Suro tak kunjung berhasil ditemukan. *** Gudang Ebook (ebookHP.com) http://www.zheraf.net DELAPAN BELAS BANJIR DARAH MALAM itu udara terasa dingin sekali karena sorenya hujan lebat turun mengguyur Kotaraja. Di luar tembok Keraton, puluhan prajurit terdiri dari empat kelompok besar melakukan penjagaan dan perondaan ketat. Di dalam Keraton terlebih lagi. Bukan saja para pengawal yang melakukan penjagaan, tetapi beberapa tokoh silat Istana kelihatan turut bertugas mengamankan Keraton, menjaga keselamatan Sultan serta keluarganya. Lewat tengah malam dinginnya udara bukan kepalang. Banyak pengawal Keraton menjalankan tugas sambil menggigil. Menjelang dini hari keadaan sekitar Keraton tampak aman walau diselimuti kesunyian. Saat itulah di sudut timur kelihatan ada kabut mengambang. Kabut yang sama kemudian muncul di ujung barat. Lalu muncul lagi di sebelah selatan dan akhirnya menyusul di sebelah utara. Perlahan-lahan kabut itu mengambang naik setinggi dada lalu berge rak ke arah bangunan Keraton. "Aneh," kata seorang prajurit tua yang bertugas mengawal di bagian timur Keraton. "Belasan tahun bertugas jadi pengawal", baru kali ini aku melihat ada kabut sekitar Keraton..." "Mengapa musti heran. Sore tadi hujan lebat bukan main. Udara dingin luar biasa. Kalau kemudian muncul kabut tak ada anehnya," menyahuti kawan prajurit tua yang berdiri di sampingnya. Tak selang berapa lama tebaran kabut melebar bukan saja ke arah Keraton tapi juga sekitar halaman luas dimana para pengawal lapisan ketiga bertugas. "Ini baru aneh," berkata pengawal di samping prajurit tua. "Tidak biasanya aku mengantuk. Heran, mataku terasa berat..." "Kalau kau tidur dalam tugas, kau bisa dijatuhi hukuman berat," kata prajurit tua pula. Tapi habis berkata begitu dia menguap lebar-lebar. Matanya terasa berair dan kantuk aneh mendadak membuat kepalanya terasa berat. "Kurasa aku sudah ketularan dirimu, ikut-ikutan mengantuk..." Prajurit tua itu berucap lalu berpaling pada kawannya. Tapi sang kawan ternyata sudah menjelepok di tanah, bersandar ke tembok halaman Keraton, tertidur pulas! "Masih muda tak tahan kantuk! Bagaimana nanti kalau sudah setua usiaku! Hai, bangun!" Prajurit tua itu pergunakan kakinya menggoyang paha temannya. Tapi dia sendiri kemudian merasa lemas, berpegangan ke tembok halaman lalu bluk! Prajurit tua ini jatuh dekat temannya, melosoh di tanah, entah pingsan entah tidur! Di bagian lain halaman Keraton, untuk melawan udara dingin, seorang prajurit menghidupkan sebatang rokok kawung. Tidak sengaja matanya menatap ke atas. Prajurit ini terkejut, serta merta mencampakkan rokoknya ke tanah lalu lari ke arah rumah jaga di sudut utara halaman. Di situ biasanya paling tidak ada lima sampai tujuh pengawal sementara yang lain-lainnya berkeliling seputar halaman. Kejut prajurit ini bukan alang kepalang ketika dia sampai di rumah jaga, ditemuinya enam orang kawannya bergeletakan tumpang tindih di lantai. Di goyang-goyangnya tubuh enam orang itu satu persatu. Tak ada yang bergerak. Mati? Di dekapkannya telinganya ke dada beberapa orang prajurit. Ada degup jantung. Berarti tidak mati. Lalu pingsan? prajurit satu ini segera berdiri. Memandang ke arah wuwungan Keraton. Seperti tadi dia melihat ada bayangan orang bergerak di atas atap bangunan. Tadi cuma dua orang. Kini malah dilihatnya ada empat orang! "Aku harus memberi tahu kepala pengawal. Aku harus segera melapor ke dalam Keraton!" kata prajurit itu. Lalu dengan cepat dia lari ke arah bangunan Keraton. Namun di pertengahan halaman tiba-tiba sebuah benda melesat di udara. Di lain kejap prajurit itu keluarkan keluhan tinggi, pegangi anak panah yang menancap di dada kirinya lalu roboh ke tanah. Tak selang berapa lama di atas atap Keraton terdengar satu suitan keras. Suitan ini disahuti oleh suitan lain dari arah selatan. Lalu terdengar lagi suitan-suitan nyaring dari tiga arah yakni utara, barat dan timur. Begitu suitan terakhir lenyap terdengar derap kaki kuda ke arah pintu gerbang Keraton, yang saat itu sudah berada dalam keadaan terpentang lebar. Padahal biasanya pintu gerbang itu selalu berada dalam keadaan tertutup. Entah siapa yang telah membukanya, yang jelas dua puluh pengawal yang bertugas di tempat itu telah bergeletakan tanpa sadarkan diri. Dua belas penunggang kuda menembus pintu gerbang Keraton. Semuanya mengenakan topeng berwarna putih hingga di malam sunyi dan dingin itu mereka tak bedanya kelihatan seperti setan gentayangan! Tiba-tiba di sebelah belakang rombongan penunggang kuda bertopeng muncul pula rombongan penunggang kuda yang dari pakaian yang dikenakan jelas mereka adalah pasukan Kerajaan. Di depan sekali seorang Perwira Muda sambil mencekal pedang berteriak memberi tahu anak buahnya. "Rombongan orang-orang tak dikenal memasuki halaman Keraton! Lekas menyebar! Satu orang segera mencari bantuan!" Pasukan Kerajaan yang terdiri dari dua lusin prajurit itu segera menyebar. Satu orang memisahkan diri melakukan perintah meminta bantuan. Namun maksudnya tidak kesampaian karena sesaat kemudian sebatang panah menancap tepat di kuduknya, tembus ke tenggorokannya! Di bawah pimpinan Perwira Muda segera dilakukan pengurungan. Dua belas penunggang kuda bertopeng putih terjepit di tengah-tengah. Perwira Muda yang memimpin pasukan berteriak lantang. "Hanya orang-orang jahat mengenakan topeng di malam hari! Buka topeng kalian dan lekas serahkan diri!" Sambil membentak Perwira Muda itu menghunus senjatanya yaitu sebilah golok panjang berbentuk segi empat. Salah seorang penunggang kuda bertopeng putih yang dikurung rapat angkat tangan kanannya ke atas. Saat itu juga udara malam dipenuhi suara berdesing. "Awas serangan panah!" teriak Perwira Muda. Goloknya diputar di atas kepala, "Traak....traak!" Dua anak panah yang diarahkan ke kepala dan dadanya patah lalu mental ke udara. Dia berhasil selamatkan diri. Tapi di kiri kanannya enam orang anak buahnya kena ditembus panah, jatuh terguling dari atas kuda masing-masing. "Cepat habisi mereka!" Salah seorang penyerbu bertopeng putih memberi perintah. Dari sosok tubuhnya yang kekar agaknya dia masih muda dan bertindak selaku pimpinan orang-orang bertopeng. Mendengar perintah itu, empat orang bergerak maju. Yang pertama seorang bertopeng membawa tombak besi yang bagian kepalanya diikat sehelai bendera segi tiga berwarna kuning. Orang ini menyerbu ke arah Perwira Muda yang memegang golok. Begitu berhadapan langsung dia tusukkan tombak besinya ke dada lawan. "Traangg!" Terdengar suara bedentrangan ketika Perwira Kerajaan menangkis dengan golok. Kejut Perwira ini bukan alang kepalang. Bentrokan senjata itu membuat tangannya bergetar hebat. Goloknya hampir terlepas dan tangan kanannya terasa linu kesemutan. Sadar kalau lawannya memiliki tingkat tenaga dalam jauh di atasnya, sang Perwira pelototi lawan dengan pandangan menyelidik. Dia memang tidak dapat melihat wajah yang terlindung topeng itu, namun senjata berupa tombak di tangan lawan rasa-rasa dia pernah melihat sebelumnya. Hanya sayang Perwira ini tidak bisa berpikir lebih lama. Saat itu lawan telah menyerbunya kembali dengan serangan tombak. Hanya beberapa gebrakan saja Perwira Muda itu kena dipukul bahu kirinya hingga terpental jatuh dari pelananya. Selagi tubuhnya melayang di udara, tombak besi menderu dan craass! Tombak itu menghujam dada, tembus sampai ke punggung. Pada saat orang bertombak maju ke hadapan Perwira Muda, tiga orang lainnya ikut bergerak. Dua bersenjata satu lagi hanya mengandalkan tangan kosong. Lebih dari dua belas prajurit Kerajaan dibuat tak berdaya. Semua menemui ajal dalam waktu singkat. Kalau ketiga orang bertopeng putih itu tidak memilikiilmu tinggi, tidak mudah untuk merobohkan belasan prajurit Kerajaan yang telah berlatih begitu cepat. Orang bertopeng yang bertindak sebagai pimpinan kembali mengangkat tangan kanannya. Kali ini tangan itu digerakkan ke arah bangunan Keraton. Sehabis memberi tanda orang tadi mendahului menggebrak kuda ke arah Keraton. Saat itu di sekitar bangunan Keraton kabut aneh tampak mengambang setinggi dada. Penunggang kuda di sebelah depan hentikan kudanya di muka tangga batu. Lalu berpaling pada arah pengikut di belakangnya dan berkata. "Hentikan serangan kabut penyirap! Aku tidak ingin bangsat itu menemui ajal dalam keadaan tidak sadar! Dia harus melihat dan merasakan bagaimana ngerinya kematian!" Salah seorang penunggang kuda bertopeng putih yang mengenakan jubah hitam berambut panjang awut-awutan sentakkan tali kekang kudanya, bergerak maju ke depan. Lalu dengan satu gerakan hebat dia melompat, tegak berdiri di atas punggung kudanya sambil rangkapkan tangan di atas dada dan pejamkan sepasang mata. Dari mulut orang ini keluar suara racauan halus. Perlahan-lahan dua tangan yang dirangkapkan, dibuka, dikembangkan ke samping. Sepuluh jari tangan dan telapak tangan digerak-gerakkan seperti orang memanggil. Terjadilah satu hal luar biasa. Semua kabut yang mengambang di halaman dan sekitar bangunan Keraton secara aneh bergerak ke arah tangan yang melambai lalu naik ke atas kepala. Secara aneh pula kabut itu seolah masuk ke dalam ubun-ubun orang itu. Semakin cepat dia menggerakkan jari-jari dan dua telapak tangannya, semakin cepat pula kabut itu amblas masuk ke dalam kepalanya. Dalam waktu singkatsemua kabut yang tadi memenuhi seantero tempat sirna tak berbekas. Begitu kabut lenyap, orang di atas kuda melompat jungkir balik dan di lain kejap dia sudah duduk kembali di punggung kudanya. Di saat yang sama, orang bertopeng yang tadi jadi pimpinan penyerbu mengangkat tangan sambil berteriak. Dua belas kuda kemudian menghambur masuk ke dalam Keraton! Gudang Ebook (ebookHP.com) http://www.zheraf.net *** DENGAN langkah tegap dan tenang Sultan Prawoto digiring ke ruang tengah Keraton oleh enam orang bertopeng putih. Di belakangnya mengikuti istri, anak-anak, dua saudara sepupunya, seorang abdi dalem serta tiga orang pelayan. Berlainan dengan sikap berani yang ditunjukkan oleh Sultan, yang lain jelas berada dalam ketakutan amat sangat dan tiada hentinya bertangisan. Betapa tidak. Untuk sampai ke ruang tengah itu mereka melewati bagian-bagian Keraton yang dipenuhi dengan tebaran mayat para pengawal dan beberapa tokoh silat Istana. Di ruang tengah Istana ada enam orang bertopeng lagi telah menunggu. Dua belas ekor kuda berkeliaran di tempat itu. Sekilas memandang saja, dari bentuk tubuh, pakaian yang dikenakan atau senjata yang mereka pegang Sultan Prawoto bisa mengetahui beberapa di antara mereka. "Pembunuh-pembunuh pengecut! Biadab! Kalian membunuh orang-orang yang tak berdosa!" Sultan Prawoto yang tak dapat menahan hatinya lagi berteriak marah. "Aku perintahkan kalian untuk menyerah!" Dua belas orang bertopeng saling pandang lalu meledak tawa bergelak di ruangan itu. Salah seorang di antaranya, yang bertubuh tegap besar melangkah mendekati Sultan lalu membuka topeng putihnya. Sultan Prawoto keluarkan suara mendengus begitu melihat wajah itu. Matanya memandang laksana kobaran api. "Dugaanku tidak keliru! Semua ini adalah perbuatan jahatmu! Arya Penangsang! Atas nama Kerajaan aku perintahkan padamu untuk menyerah!" Orang yang barusan membuka topeng putih ternyata adalah Arya Penangsang, pimpinan rombongan penyerbu. Dia adalah putera Pangeran Tua Sekar Seda Lepen. Wajahnya tampak garang, dipenuhi kumis, cambang bawuk dan jenggot meranggas. "Prawoto! Jangan menggigau! Saat ini yang namanya Kerajaan Demak sudah tidak ada lagi! Yang namanya Sultan Demak hanya tinggal sisa bangkai hidup yang siap mampus! Kau sudah membaca suratku! Saat ini kau tengah menghadapi Pengadilan Dunia! Kau keparatnya yang bertanggung jawab, menanggung segala dosa!" Sultan Prawoto sudah bisa menduga apa yang hendak dilakukan oleh Arya Penangsang. Maka dia berkata. "Istri dan anak-anakku tidak berdosa, tidak ada sangkut pautnya dengan diriku! Bebaskan mereka! Jika kau ingin menuntut balas kematian ayahmu, mari kita bertempur satu lawan satu secara kesatria!" Arya Penangsang kerutkan kening, delikkan mata lalu tertawa bergelak. "Di saat-saat malaikat maut hendak mengambil nyawamu, kau masih bisa bersyair menunjukkan jiwa kesatria palsu menutupi kepengecutan dan dosa besarmu! Kau ingin pertempuran secara jantan! Akan ku penuhi permintaanmu!" Arya Penangsang jentikkan tangannya hingga mengeluarkan suara keras. Seorang bertopeng segera menghampirinya, menyerahkan sebuah benda terbungkus kain putih. Dengan cepat Arya Penangsang membuka bungkusan kain putih. Isi bungkusan ternyata sebilah golok yang bagian ujungnya sampai ke pertengahan berwarna hitam. Warna hitam ini adalah noda darah yang telah mengering. "Prawoto! Dengan golok ini ayahku dibunuh! Dengan golok ini pula kau akan ku bantai! Demak akan tergenang darah! Darah itu berpangkal dari Keraton ini! Kau menginginkan pertempuran secara jantan! Silahkan kau memilih senjata! Kita bertempur satu lawan satu!" "Aku akan menghadapimu dengan tangan kosong! Silahkan menyerang!" jawab Sultan Prawoto pula sambil kertakkan rahang sementara jerit tangis terdengar semakin menjadi-jadi di ruang itu. Sesekali kuda-kuda yang ada di situ keluarkan suara ringkikan. "Jahanam pengecut! Kau inginkan mampus secara pengecut! Jangan kira aku akan berbelas kasihan kepadamu! Lihat golok!" Di dahului dengan teriakan dahsyat Arya Penangsang melompat. Golok besar di tangan kanannya berkiblat, mengeluarkan su ara deru mengerikan. Istri Sultan Prawoto menjerit sambil memeluk anak-anaknya yang bertangisan. Kuda meringkik. Para pelayan ikut berteriak. Sultan Prawoto menghindar ke kiri sambil lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung hawa sakti, membuat tubuh Arya Penangsang bergoyang-goyang dan sambaran goloknya tidak mengenai sasaran. Arya Penangsang kembali keluarkan teriakan keras. Tangan kirinya ikut bekerja melepas pukulan jarak jauh untuk menahan serangan tangan kosong Sul tan Prawoto. Golok di tangannya diputar laksana curahan hujan. Berkiblat ganas mengerikan. Satu jeritan menggelegar di ruangan besar itu. Sosok Sultan Prawoto mencelat ke belakang. Jatuh berlutut di lantai. Darah mancur dari tangan kanannya yang buntung. Istrinya menjerit menghambur coba menghampiri. Namun seorang bertopeng putih menjambak rambutnya lalu melemparkannya hingga terguling di lantai. *** KEESOKAN harinya seluruh Demak gempar besar. Kabar kematian Sultan Prawoto yang di bantai bersama anak istrinya, saudara serta para pelayan tersebar luas dengan cepat. Rakyat bersedia namun tak berani menunjukkan rasa berkabung terang-terangan. Karena kabarnya siapa saja yang menunjukkan sikap masih mendukung Sultan yang lama akan dihabisi secara semena-mena. Dalam suasana seperti itu Arya Penangsang mengumumkan pengangkatan dirinya sebagai Sultan Demak baru. Beberapa petinggi dan para tokoh silat yang sebelumnya mengabdi pada Sultan yang lama diberi kekuasaan dan kedudukan lebih tinggi. Hal ini mendatangkan tanda tanya besar bagi rakyat. Hingga mereka mencurigai bahwa orang-orang itu terlibat atau membantu Arya Penangsang dalam peristiwa berdarah di Keraton Demak. Mereka antara lain adalah Nenek Ular Si Lidah Bangkai. Tumenggung Pakubumi alias Kala Srenggi. Lalu kepala rampok hutan Roban Warok Wesi Gludug, Ki Dalem Sleman dan Perwira Tinggi Brajanala serta beberapa orang lainnya yang belum sempat diketahui karena sengaja merahasiakan diri. Selama satu hari mayat-mayat yang bergeletakan di ruang tengah keraton sengaja dibiarkan begitu saja. Malah rakyat diminta untuk menyaksikan kematian Sultan Prawoto dan keluarganya itu yang oleh Arya Penangsang dianggap sebagai pengkhianat. Namun tak seorangpun yang mau datang untuk menyaksikan. Rakyat sama maklum siapa sebenarnya yang jadi pengkhianat dan pemberontak. Beberapa orang Adipati yang konon masih setia kepada Sultan Prawoto mengadakan pertemuan rahasia dipimpin oleh Adipati Japara. *** SEMBILAN BELAS PENCULIKAN DI PAGI BUTA DARI dalam gubuk kajang beratap rumbia itu,di penghujung malam yang dingin, ketika kebanyakan orang bahkan juga para satwa masih tenggelam dalam tidur nyenyak terdengar suara orang mengaji. Dari suaranya jelas yang mengaji itu adalah seorang anak laki-laki. Di luar gubuk yang terletak di puncak bukit kecil pada aliran kali Glugu, di dalam gelap, tanpa suara dua orang terlihat membimbing kuda masing-masing. Di satu tempat mereka tinggalkan tunggangan itu. "Tombak saktimu tidak dibawa serta?" bertanya orang yang berjalan di sebelah kanan. Tubuhnya tinggi besar, kulitnya sehitam arang. "Cuma menangkap seorang bocah saja, apa perlu senjata sakti itu?" jawab sang teman, seorang kakek berjubah kuning tebal. Dua orang itu melangkah ke arah sebuah pohon besar tak jauh dari gubuk. Di sini keduanya berhenti dulu. Yang berpakaian jubah kuning tebal berbisik pada teman sebelahnya. "Kau mendengar suara orang mengaji?" "Sejak tadi," jawab si teman yang berkulit hitam legam, berbadan besar kokoh. "Yang mengaji seorang anak lelaki. Kukira dia anak yang kita cari. Anak yang konon disebut-sebut dalam Kitab Hikayat Keraton Kuno." "Aku belum pernah melihat kitab itu. Apa lagi membacanya. Jadi sangkut paut si anak dengan kitab itu sulit kupercaya! Lagi pula, apa kitab itu benar-benar ada? Jangan-jangan cuma karangan belaka. Disampaikan dari mulut ke mulut hingga akhirnya orang percaya kitab itu benar-benar ada." "Sobatku Perwira Kerajaan, apa kau tidak percaya pada cerita Si Lidah Bangkai, Warok Wesi Gludug dan Tumenggung Pakubumi. Dua diantara mereka pernah berusaha merampas kitab itu dari tangan Ki Suro Gusti Bendoro dan Empu Bondan Ciptaning. Tapi gagal..." "Anak itu, jika memang dia anak yang kita cari apa yang hendak kita lakukan terhadapnya?" bertanya orang yang dipanggil dengan sebutan Perwira Kerajaan. Dia bukan lain adalah Brajanala yang kini mengabdi di bawah tahta Arya Penangsang Sultan Demak yang baru. Konon kabar yang mengatakan bahwa dalam waktu dekat dia akan diangkat menjadi Patih Kerajaan. Kakek yang dijuluki si culas bermuka banyak ini kini mendapat kedudukan tinggi dan enak di Keraton Demak sebagai imbal bantuannya menumbangkan tahta Sultan Prawoto. "Sesuai perintah Sultan Arya, anak itu harus kita bawa ke Keraton. Apa yang akan dilakukan terhadapnya kemudian aku sendiri tidak tahu." Berkata Ki Dalem Sleman. "Seorang anak bisa membahayakan Kerajaan, Satu hal yang bagiku tidak masuk akal," ujar Brajanala. "Kalau memang dia berbahaya, mengapa tidak dihabisi saja. Lemparkan ke jurang atau ke dalam sungai. Habis perkara. Mengapa! susah-susah mengurusinya?" "Sobatku, jangan berpikiran pendek. Pergunakan sedikit akalmu! Justru anak inilah yang diduga punya teka-teki besar bagi Kerajaan. Dia bukan anak sembarangan. Kisahnya tertera dalam Kitab Hikayat Keraton Kuno..." "Lagi-lagi kitab itu!" bersungut Brajanala. "Pekerjaan seperti ini seharusnya tidak kita yang menangani. Cukup dua tiga orang prajurit saja." "Tadinya aku juga berpikir seperti itu. Tapi semakin ku kaji persoalannya semakin tertarik aku untuk menangani sendiri. Ternyata Sultan kita yang baru juga punya jalan pikiran sepertiku. Jika tidak ada apa-apanya, mana mungkin Sultan Arya menugasi kita berdua." "Anak ini yang bernama Ario menurut riwayat yang aku dengar bukan anak Ki Suryo Pabelan..." "Dia cucu si kakek pemilik gubuk itu. Sudah dipelihara Ki Suryo sejak ke dua orang tuanya lenyap tak tentu rimbanya," menerangkan Ki Dalem Sleman. "Dari tadi kita bicara saja! Kapan kita akan masuk ke gubuk dan menculik anak itu?!" tanya Perwira Tinggi Brajanala. "Sabar, jangan kesusu. Coba kau perhatikan keadaan sekeliling kita." berkata Ki Dalem Sleman. Brajanala memandang berkeliling. Dia hanya melihat pepohonan, semak belukar dan kegelapan. "Tak ada apa-apa yang perlu dirisaukan," kata Perwira ini kemudian. Ki Dalem Sleman tersenyum. "Matamu mulai lamur. Perasaanmu mulai tumpul. Mungkin terlalu banyak hidup enak di Keraton...." Tidak senang mendengar ucapan sahabatnya itu sang Perwira bertanya. "Apa maksudmu Ki Dalem?" "Buka matamu besar-besar. Lihat ke atas atap gubuk," bisik Ki Dalem Sleman. Mendengar ucapan orang, Brajanala segera palingkan kepala, memandang ke bagian atas gubuk kajang atap rumbia. "Astaga, mengapa aku sampai tidak melihat!" Sang Perwira berucap sambil mengusap-usap janggut kasar di dagunya. Di atas atap gubuk yang gelap, ternyata mendekam satu sosok yang menghitam dalam kegelapan. "Orang itu, siapapun dia adanya pasti punya niat sama dengan kita. Hendak menculik anak di dalam gubuk. Kita harus segera bertindak sebelum kedahuluan orang!" "Jalan pikiranmu mulai terbuka! Tunggu apa lagi?!" Ki Dalem Sleman dan Perwira Brajanala segera keluar dari balik pohon. Tapi sesaat langkah mereka tertahan ketika tiba-tiba sekali sosok di atas gubuk menjebol atap lalu lenyap masuk ke dalam gubuk! "Ki Dalem! Kita kedahuluan!" kata Brajanala. Saat itu bagian dalam gubuk yang tadinya diterangi lampu minyak mendadak gelap. Suara anak mengaji ikut lenyap! "Aku masuk ke dalam. Kau tunggu di atap! Orang itu mungkin akan kabur lewat lobang di atas atap!" Tanpa banyak bicara Perwira Brajanala segera melompat ke atas atap. Seperti diketahui Perwira ini memiliki tubuh tinggi besar. Atap gubuk yang terbuat dari rumbia lapuk itu mana mungkin menahan tubuhnya yang berat. Tapi tanpa suara, seperti seekor burung enak saja dia hinggap di atas gubuk, lalu mendekam menunggu waspada. Ternyata Perwira Kerajaan ini akhir-akhir ini semakin hebat ilmu tenaga dalam maupun meringankan tubuh. Tak lama kemudian di dalam gubuk terdengar suara orang berkelahi disertai bentakan-bentakan keras. "Penculik keparat! Serahkan anak itu padaku!" Itu adalah suara Ki Dalem Sleman. Terdengar suara tawa bergelak. "Maling berteriak penculik! Jika kau mau mengambil anak ini silakan saja!" Orang yang tertawa menjawab ucapan Ki Dalem Sleman. Lalu... bukkk! Terdengar suara beradunya dua pukulan Dua sosok sama-sama mental. Gubuk bergoyang keras. Dinding sebelah kanan jebol. Seorang berpakaian warna gelap melesat keluar dari gubuk sambil memanggul sosok seorang anak lelaki berusia sekitar sepuluh tahun yang berada keadaan tertotok. Sesaat kemudian kelihatan sosok Ki Dalem Sleman mengejar. Melihat ini Perwira Brajanala yang berada di atas atap segera melesat turun ke bawah, melakukan penghadangan. Orang yang memanggul anak kecil di bahunya tersentak lalu berucap. "Kiranya maling jelek membawa kawan yang lebih jelek! Ha...ha...ha! Walau kalian berdua, jangan harap bisa dapatkan anak ini!" "Kalau kau tidak mau menyerahkan suka rela, kami tidak segan-segan membuatmu menjadi mayat penasaran lebih dulu!" menyahuti Ki Dalem Sleman. Dia memberi isyarat pada Brajanala. Kedua orang ini segera menyerbu. Waktu di dalam gubuk keadaan gelap setelah lampu minyak padam. Orang yang memboyong anak kecil tidak bisa melihat jelas siapa adanya kakek berjubah kuning itu. Di luar gubuk walaupun malam tapi keadaan lebih terang. Ketika memperhatikan pakaian dan wajah si kakek berjubah kuning tebal, barulah orang itu sempat menjadi kaget. Terlebih lagi ketika dia juga mengenali orang ke dua yang jadi pengeroyoknya. "Ki Dalem Sleman, tokoh silat culas Kesultanan Demak. Perwira Tinggi Brajanala, sama busuknya dengan si tua bangka itu! Bagaimana mereka bisa terlibat dalam urusan bocah ini? Lawanku tidak enteng. Lebih baik mencari jalan kabur dari pada membahayakan keselamatan anak ini!" Berpikir seperti itu, orang yang memboyong anak kecil di bahunya segera melancarkan serangan gencar diseling gerakan-gerakan tipuan. Begitu dua lawan berlaku lengah, dia akan serta merta kabur melarikan diri. Tetapi Ki Dalem Sleman dan Brajanala yang punya segudang pengalaman mana bisa diperdayakan. Dari jurus gerakan orang, kedua tokoh Istana Demak ini sudah bisa membaca apa yang hendak dilakukan lawan. Dan ternyata Ki Dalem Sleman mengenai siapa adanya si penculik anak. Kakek ini segera menegur dengan suara lantang. "Datuk Manding Kalianget! Tidak kusangka, jauh-jauh tinggal di Madura muncul di tanah Jawa jadi penculik bocah!" Maklum orang sudah tahu siapa dirinya, si penculik seorang kakek berpakaian biru gelap, memiliki rambut, alis, kumis dan janggut kelabu menyeringai lalu berbatuk-batuk. "Kalian berdua, bukankah punya maksud sama? Hendak menculik anak ini? Cuma sayang aku mendapatkannya lebih dulu!" Habis berkata begitu kakek bernama Manding Kalianget hentakkan kaki kanannya ke tanah. Bukit kecil di tepi kali Glugu itu bergetar. Bersamaan dengan itu di tanah mencuat kepulan asap hitam menutup pemandangan. "Penculik busuk! Jangan mengira bisa menipu kami!" teriak Brajanala. "Mau lari kemana? Jalan lolos mu cuma satu! Ke pintu akhirat!" ikut berteriak Ki Dalem Sleman. Dari tempat mereka berdiri Datuk Manding Kalianget memang lenyap tak kelihatan tertutup kepulan asap hitam. Tapi begitu dua orang itu melesat tinggi ke udara, dari atas mereka segera melihat di mana beradanya si penculik. Saat itu Datuk Manding Kalianget telah berkelebat ke arah selatan. Dua kali membuat lesatan, dua tokoh Istana Demak ini berhasil menghadang Manding Kalianget, membuat si penculik terkejut besar. Brajanala dan Ki Dalem Sleman tidak memberi kesempatan lagi. Keduanya langsung menyerang. Perkelahian hebat segera terjadi. Dalam waktu tiga jurus saja Datuk Manding Kalianget mulai terdesak. Dengan beban anak di atas bahu kiri yang harus diselamatkannya, menghadapi dua lawan berkepandaian tinggi memang tidak mudah bagi Manding Kalianget. Pada awal jurus ke enam tokoh silat dari Madura ini cabut senjatanya, sebilah clurit besar berwarna biru. Senjata ini memiliki rongga hampa dan pada ujungnya ada sebuah lobang kecil. Setiap clurit itu berkelebat, menderu suara seperti lengkingan angin puting beliung di malam buta! Ki Dalem Sleman menyesal besar meninggalkan tombak saktinya di pelana kuda. Gempuran clurit Manding Kalianget ganas bukan main. Datangnya laksana curahan hujan. Terlebih lagi ketika dari lobang di ujung clurit menyembur asap hitam menebar bau aneh pertanda mengandung racun jahat! Ki Dalem Sleman memberi isyarat pada Brajanala. Perwira Tinggi Demak itu segera mencabut pedangnya. Dengan senjata ini dia bisa membendung serangan clurit lawan. Sementara itu Ki Dalem Sleman menghantam dengan kebutkan ujung jubah kuningnya. Dua rangkum gelombang angin menderu menghantam kepulan asap hitam beracun yang keluar dari lobang di ujung clurit. Selama enam jurus pertempuran berkecamuk hebat. Bagaimanapun hebatnya ilmu silat Datuk Manding Kalianget, bagaimanapun ganas serangan cluritnya namun dua lawan yang dihadapinya bukan sembarangan. "Datuk Manding Kalianget! Kau mau serahkan anak itu atau kau memang ingin dibantai lebih dulu?!" Ki Dalem Sleman berseru. Walau jelas dirinya dalam keadaan terdesak namun Manding Kalianget tidak unjukkan rasa takut. Malah sambil tertawa dia berkata. "Kau terlalu banyak bicara! Jaga batang lehermu!" "Wuuuttt!" Sinar biru melesat di udara. Clurit besar membabat ke arah perut Ki Dalem Sleman. Selagi kakek ini melompat mundur tiba-tiba clurit di tangan lawan melesat ke atas, membabat ke arah tenggorokannya. Ki Dalem Sleman tertipu! Untungnya Brajanala segera melompat sambil sorongkan pedang. "Traangg!" Clurit dan pedang saling beradu, mengeluarkan suara berdentrangan dan percikan bunga api di udara. Datuk Manding Kalianget merasa terkejut. Bentrokan senjata tadi membuat tangannya tergetar hebat dan ada hawa panas menyerang telapak tangannya hingga dia hampir-hampir melepas pegangan pada gagang senjata. "Celaka, kalaupun aku nekad menyabung nyawa, anak ini tak mungkin kuselamatkan. Dua lawan yang kuhadapi benar-benar tangguh! Masih ada satu cara untuk menghadapi mereka. Kalau ternyata gagal, aku memilih mati bersama anak ini!" Setelah membatin begitu rupa Manding Kalianget keluarkan seruan keras. Clurit di tangannya dibabatkan berputar membentuk lingkaran. Selagi dua lawan bergerak menghindar Manding Kalianget pergunakan kesempatan untuk melesat ke udara. Dari ketinggian dua tombak kakek ini kemudian hantamkan tangan kirinya ke bawah sambil mulutnya merapal sesuatu. Dari tangan kiri Manding Kalianget tiba-tiba melesat keluar satu bayangan besar hitam, membentuk makhluk bermuka raksasa. Kejut Ki Dalem Sleman dan Perwira Brajanala bukan alang kepalang. Keduanya memukul ke atas. Dua pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi jelas-jelas mengenai makhluk besar hitam itu. Tapi seperti membal, dua pukulan itu berbalik kembali, malah menghantam ke arah Brajanala dan Ki Dalem Sleman. "Bummm! Bummm!" Tanah terbongkar membentuk dua lobang besar. Untungnya dua tokoh Istana itu masih sempat selamatkan diri. Brajanala berdiri dengan muka agak pucat. Tangannya yang memegang pedang terasa bergetar. "Perwira, kau gempur kakek jahanam itu dengan pedangmu. Aku akan menggasak makhluk jejadian," bisik Ki Dalem Sleman lalu loloskan ikat pinggang jubahnya yang terbuat dari gulungan kawat lentur berlapis kain kuning. Dengan kesaktiannya ikat pinggang ini bisa berubah menjadi sebatang tombak, cemeti atau tali penjirat. Mendengar bisikan Ki Dalem Sleman, Brajanala segera keluarkan jurus-jurus maut ilmu pedangnya. Gempuran Perwira Tinggi ini membuat Datuk Manding Kalianget sesaat menjadi sibuk terpaksa andalkan clurit untuk menghadapi pedang lawan. Kakek ini cepat-cepat pergunakan makhluk hitam jejadiannya untuk menyerang Brajanala. Namun saat itu ikat pinggang kuning di tangan Ki Dalem Sleman mulai ambil peranan. Senjata ini meliuk di udara dua kali berturut-turut, menusuk ke lambung makhluk hitam, lalu berkelebat menjirat ke arah leher! Datuk Manding Kalianget tersentak kaget ketika melihat satu kali bergerak saja lawan telah mampu menjirat leher makhluk hitam besar jejadian. Dia segera merapal habis-habisan. Tapi tak ada gunanya. Makhluk jejadian hitam besar keluarkan suara menggebor lalu sirna tak berbekas. Malah tali kuning yang masih menjulai panjang tiba-tiba menggelung ke arah lehernya! Manding Kalianget gerakkan tangan yang memegang clurit untuk menabas tali kuning tapi senjatanya membal ke atas, terlepas dari genggamannya. Lidah tokoh silat dari Madura ini mulai terjulur keluar. Ludah membusah. Matanya mendelik merah. Jiratan tali kuning pada lehernya tak mampu dilepaskan. Tak ada kemungkinan lagi baginya untuk selamatkan diri dari kematian. "Ki Dalem Sleman keparat! Kau boleh membunuhku! Tapi jangan harap bisa dapatkan anak ini hidup-hidup!" Habis berkata begitu Datuk Manding Kalianget gebukkan tinju kanannya ke batok kepala si bocah di bahu kirinya! *** Bersambung Ke Bagian Selanjutnya: Petir Di Mahameru 5 Gudang Ebook (ebookHP.com) http://www.zheraf.net